Women And Youth Development Institute of Indonesia - WYDII

home News Details

Empower & Heal: Ruang Aman untuk Penyembuhan dan Pemberdayaan Diri

home News Details

Empower & Heal: Ruang Aman untuk Penyembuhan dan Pemberdayaan Diri

10 Desember 2024
Kantor Bidari & Peduli Napas Sidoarjo
Umum


Sidoarjo 10 Desember 2024, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional, WYDII bersama Peduli Napas Sidoarjo menggelar kegiatan bertajuk "Empower & Heal: Collective Healing" di Kantor Bidari & Peduli Napas Sidoarjo. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang bertujuan menciptakan ruang aman (safe space) bagi masyarakat untuk berbagi cerita, menyembuhkan diri, dan meningkatkan pemahaman tentang kekerasan berbasis gender (KBG).


Acara ini dirancang dengan sederhana namun sarat akan makna. Collective Healing ini difasilitatori oleh Ning Ami dan Gus Fikri dari Peduli Napas Sidoarjo. Kegiatan ini membuka ruang bagi peserta untuk berbagi pengalaman pribadi, menemukan dukungan, dan memperoleh pemahaman tentang hak-hak korban berdasarkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang diharapkan dapat memberikan pencerahan tentang langkah-langkah yang dapat diambil untuk mencegah dan melawan kekerasan berbasis gender.


Ruang Aman: Menyembuhkan Luka dan Membuka Harapan


Sesi berbagi dalam acara ini mengungkapkan banyak pengalaman emosional dari peserta. Salah seorang ibu mengungkapkan perasaan bersalahnya karena anaknya mengalami perundungan selama empat tahun di sebuah Madrasah Ibtidaiyah di Sidoarjo Barat. Ia menghadapi dilema besar: bertahan di lingkungan sekolah yang tidak mendukung atau memindahkan anaknya ke sekolah baru, meskipun muncul kekhawatiran bahwa anaknya harus memulai proses adaptasi dari awal.



Cerita lainnya datang dari seorang ibu yang menceritakan pengalamannya dengan kekerasan seksual dalam bentuk sentuhan fisik di area sensitif yang sering dianggap biasa oleh masyarakat, terutama oleh bapak-bapak.


Dalam lingkungan tersebut, sentuhan bokong dan catcalling sering kali dianggap sebagai bahan candaan, meskipun bagi ibu tersebut tindakan tersebut jelas melanggar batasan privasinya.


Ia mengungkapkan rasa takut untuk berbicara tentang hal tersebut kepada suami atau orang lain, khawatir akan menimbulkan konflik atau dianggap berlebihan. Ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa banyak perempuan memilih untuk memendam perasaan mereka karena takut stigma atau sanksi sosial.


Melalui sesi tersebut, peserta belajar bahwa dalam situasi seperti ini, penting untuk memberi penegasan terhadap pelaku bahwa tindakan tersebut tidak diterima. Mengatakan dengan tegas, seperti "Saya tidak suka dengan tindakan ini, tolong berhenti," adalah langkah awal yang penting. Jika merasa takut menghadapi pelaku sendirian, penting untuk mencari dukungan dari orang terpercaya seperti keluarga atau teman, serta melaporkan kejadian tersebut jika perlu.


Ho'oponopono: Sebuah Pendekatan yang Menggugah
Selain diskusi dan berbagi pengalaman, sesi healing juga memperkenalkan teknik Ho'oponopono, yang menggunakan ungkapan sederhana seperti "I’m Sorry," "Please Forgive Me," "Thank You," dan "I Love You." Teknik ini membantu peserta menerima tanggung jawab atas emosi mereka dan memperbaiki hubungan dengan diri sendiri. Banyak peserta yang terharu secara emosional setelah mempraktikkan teknik ini, merasa lebih lega dan mampu melepaskan beban emosional yang selama ini mengganjal.


Mengupas Peran UU TPKS dalam Melindungi Korban

Diskusi dalam kegiatan ini juga menyoroti peran penting UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. UU ini tidak hanya berfokus pada penghukuman bagi pelaku, tetapi juga memberikan perlindungan menyeluruh kepada korban. Beberapa hak yang dijamin dalam UU TPKS antara lain:

    • Hak atas perlindungan (Pasal 44), yang mencakup jaminan keamanan dari ancaman pelaku.
    • Hak atas pemulihan fisik dan psikologis (Pasal 45), yang mencakup layanan rehabilitasi dan pendampingan hukum.
    • Hak atas restitusi (Pasal 46), berupa ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku kepada korban.

Peraturan Turunan UU TPKS: Menyempurnakan Implementasi

Meskipun UU TPKS sudah disahkan, pemerintah masih perlu menyelesaikan beberapa peraturan turunan untuk menguatkan implementasinya. Sejauh ini, empat dari tujuh peraturan turunan telah disahkan, antara lain:

  1. PP No. 27 Tahun 2024 yang mengatur koordinasi dan pemantauan pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPKS, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1-4) UU TPKS.
  2. Perpres No. 9 Tahun 2024 yang mengatur penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual.
  3. Perpres No. 55 Tahun 2024 tentang pembentukan dan penguatan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
  4. Perpres No. 98 Tahun 2024 yang mengatur penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.

Mardiko Saputro, Direktur Youth Advokasi WYDII, menegaskan bahwa implementasi UU TPKS harus dilakukan secara efektif dan berkesinambungan."Kekerasan seksual bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan serius terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang suportif bagi korban agar mereka merasa tidak sendirian dalam perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan. Hanya dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas, kita dapat menghapus kekerasan berbasis gender dari akar,"ujarnya.


Namun, tiga peraturan turunan lainnya—terkait dengan dana bantuan untuk korban, pencegahan, dan kebijakan nasional pemberantasan TPKS—masih dalam pembahasan. Ini menunjukkan bahwa implementasi UU TPKS masih memerlukan langkah konkret untuk mengoptimalkan perlindungan bagi korban dan meningkatkan kapasitas pencegahan kekerasan seksual di tingkat lokal dan nasional.

Harapan untuk Masa Depan: Menghapus Kekerasan Seksual dari Akar
Kegiatan ini membuktikan bahwa ruang aman bukan hanya kebutuhan emosional, tetapi juga elemen penting dalam menghapus kekerasan berbasis gender dari akar. Dengan implementasi UU TPKS yang lebih efektif dan pengesahan peraturan turunan yang masih tertunda, diharapkan korban kekerasan seksual dapat lebih percaya diri untuk melaporkan kejadian yang mereka alami tanpa rasa takut atau stigma.


WYDII bersama Peduli Napas Sidoarjo berharap bahwa masyarakat semakin menyadari bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan serius yang tidak boleh dianggap enteng. Sentuhan fisik yang tidak diinginkan, catcalling, atau pelecehan seksual lainnya bukanlah bahan candaan, tetapi pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia.


Mari kita bersama-sama membangun Indonesia yang bebas dari kekerasan seksual dan mendukung setiap korban untuk mendapatkan hak-hak mereka sesuai dengan UU TPKS.


#PercayaKorban adalah langkah pertama menuju perubahan.