Women And Youth Development Institute of Indonesia - WYDII

home News Details

Lewat Seni, Aksi Tolak Kekerasan terhadap Perempuan Disuarakan di Surabaya

home News Details

Lewat Seni, Aksi Tolak Kekerasan terhadap Perempuan Disuarakan di Surabaya

01 Desember 2024
Gedung Nasional Indonesia
Politik

Surabaya, 1 Desember 2024 - Dalam rangkaian peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), seniman, pembuat film, dan aktivis perempuan bersatu untuk menyuarakan pentingnya menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kampanye tersebut diwujudkan melalui acara bertajuk “Perempuan Bersuara”, yang berlangsung di Gedung Nasional Indonesia (GNI), Surabaya.


Acara ini diisi dengan pemutaran film pendek “Pulih” dan pertunjukan monolog “Pelaminan Kosong”. Kedua karya seni ini menghadirkan narasi mendalam tentang upaya advokasi dan pemulihan korban kekerasan seksual, memberikan perspektif baru bagi masyarakat untuk lebih memahami perjuangan para korban.


Muhammad Irfansyah, Ketua Gen Epistree sekaligus produser film “Pulih”, menjelaskan bahwa film tersebut merupakan kolaborasi dengan Women’s Crisis Center (WCC) Jombang dan didasarkan pada pengalaman nyata pendampingan korban kekerasan seksual.


"Film ini tidak hanya menceritakan kisah para korban, tetapi juga menampilkan perjuangan para pendamping korban yang terus mendukung mereka untuk bangkit dan pulih," ujar Irfansyah.


Ia menambahkan bahwa kolaborasi melalui media seni seperti film memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat. “Kami ingin seni ini menjadi medium edukasi yang kuat untuk menyuarakan isu penting seperti kekerasan terhadap perempuan, sekaligus mendukung advokasi nyata di lapangan,” tambahnya.


Sementara itu, Anna Abdullah, Direktur WCC Jombang, menekankan bahwa media kreatif seperti film dan monolog dipilih karena memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan-pesan penting secara emosional dan efektif. “Apa yang kami tampilkan dalam acara ini adalah gambaran nyata dari apa yang dihadapi korban dan para pendamping mereka. Media seperti ini dapat menggerakkan hati masyarakat untuk peduli dan bertindak,” ungkap Anna.


Acara ini juga menghadirkan layanan Counseling On-the-Spot yang diselenggarakan oleh Hotline Sahabat Ibu (HSI). Rakhma Wizati Puteri, Lead Counselor dari HSI, menyampaikan bahwa layanan konseling ini dirancang sebagai ruang aman bagi para korban kekerasan untuk berbagi cerita dan mendapatkan dukungan psikologis.


"Kami ingin memastikan bahwa korban kekerasan, terlepas dari identitas gender mereka, memiliki tempat untuk berbicara, pulih, dan kembali menjadi manusia seutuhnya. Pada layanan ini, kami menghadirkan enam konselor profesional yang siap membantu," ujar Rakhma. Ia menekankan bahwa pendampingan psikologis sama pentingnya dengan pendampingan hukum dalam proses pemulihan korban.


Mardiko Saputro, perwakilan dari Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), juga menyampaikan pentingnya seni sebagai media advokasi. “Pemerintah perlu memfasilitasi ruang-ruang ekspresi seperti seni ini, karena seni dapat menjadi alat edukasi yang mendalam bagi masyarakat, berbeda dengan konten-konten di media sosial yang kerap kali hanya berorientasi pada kapitalisme dan minim edukasi,” tegas Mardiko.


Lebih lanjut, ia juga mendorong pemerintah, khususnya di tingkat daerah, untuk segera merumuskan kebijakan yang berpihak kepada korban kekerasan. “Kehadiran rumah aman atau shelter sebagai implementasi UU TPKS sangat mendesak. Kebijakan seperti ini adalah wujud nyata dari komitmen untuk melindungi korban dan menciptakan ruang aman bagi mereka,” pungkasnya.


Acara “Perempuan Bersuara” berhasil menggaet perhatian masyarakat yang hadir. Pesan-pesan yang disampaikan melalui film, monolog, dan layanan konseling menjadi pengingat kuat bahwa perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan harus dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan.